Sebenarnya saat itu saya inginnya jadi TNI, jadi tentara. Waktu itu di zaman Orde Baru itu kalau tentara itu kan bisa jadi bupati, jadi gubernur. Tapi Tuhan menghendaki saya jadi polisi. Ya sudah saya cintai polisi. Saya fokus dan konsentrasi untuk profesional di polisi.
Tapi, kabar yang mengatakan kalau Bapak pernah terpapar paham radikalisme apakah itu benar, Pak?
Jadi gini, radikalisme itu kan paham atau ideologi yang menginginkan terjadinya perubahan tatanan sosial politik yang sudah mapan, yang sudah firm. Dalam konteks Indonesia kan ada konsensus nasional, ada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 45. Nah, orang yang berpaham radikalisme ya sejatinya ingin mengubah tatanan sosial politik tadi secara ekstrem atau secara kekerasan.
Dan kemudian yang namanya radikalisme atau dalam terminologi asing disebut ekstrimisme itu, ya ini sejatinya adalah virus ideologi yang berpotensi memapar siapa saja. Tidak terikat suku, ras, agama, tidak terikat profesi, bahkan tidak terkait atau tidak terikat pada kadar intelektualitas seseorang. Virus ini virus ideologi namanya.
Nah, seseorang yang terpapar virus ini maka dia kognisinya atau inteleknya pintar tetap, tetapi spiritualnya jadi rusak. Jadi enggak bisa berpikir secara fair, secara substansial dan kalau dalam perspektif agama, karena begini, radikalisme, terorisme itu sebenarnya kan tidak ada kaitannya dengan agama apa pun ya. Tidak ada kaitannya, karena tidak ada satu pun agama yang membenarkannya kan?
Nah keterkaitannya itu bukan pada agama tapi pada oknum umat beragama yang salah dan menyimpang dalam memahami dan mengamalkan agamanya. Dan ini biasanya didominasi atau menunggangi agama mayoritas di suatu negara atau di suatu wilayah. Kebetulan di Indonesia itu mayoritas kan muslim, maka semua teroris yang kami tangkap, kami tahan itu KTP-nya muslim.
Lantas, Bapak sendiri bagaimana bisa terpapar?
Kenapa kok bisa? Ya itu tadi. Saya berpangkat kapten saat itu. Kapten itu sekarang AKP-lah ya, ajun komisaris polisi, bukan agen kupon putih loh, bukan ya. Nah, saat itu saya jadi Kapolsek di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah ya. Kemudian karena ghirah atau keinginan mendalami agama, kemudian saya sering mendengarkan ceramah-ceramah di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, di tempatnya Abu Bakar Ba'asyir.
Kebetulan dengan kantor jaraknya cuma 6 atau 7 kilo, karena memang saat itu Al Mukmin Ngruki tahun 1994, 1995, 1996-an itu sangat keren, sangat bagus, menjadi idola daripada putra-putri para pejabatlah ya. Karena di sana tidak hanya dididik ilmu agama, tapi juga disiplin semi militer ya.
Belakangan enggak tahunya itu i'dad lah, latihan-latihan perang segala macam. Sampai pada satu titik, saya pengen berangkat ke Afghanistan, bergabung dengan kaum atau kelompok mujahidin yang waktu itu memang Afghanistan kan masih diintervensi oleh Uni Soviet, nah seperti itu.
Jadi kalau bertanya kenapa seorang TNI-Polri atau siapa pun mereka bisa terpapar? Karena memang virus ideologi ini pemaparannya tidak lewat droplet seperti virus Covid-19 atau virus biologi, tapi penularannya lewat penglihatan dan pendengaran.
Apalagi sekarang zaman medsos ya ada Youtube, ada media sosial. Nah ini pintu masuknya adalah kaum penceramah. Kalau penceramahnya itu baik, moderat, kemudian soft, mendamaikan, mempersatukan, maka itu menjadi pintu keluar. Tapi kalau penceramahnya itu radikal, intoleran, mempropagandakan kebencian, kesombongan dan lain sebagainya, maka itu pintu masuk, nah itu virus.
Bagaimana Polri menanggapi aktivitas Bapak ketika itu?
Ya instansi juga enggak paham saat itu karena belum ada Undang-Undang Terorisme kan? Undang-Undang Terorisme itu kan baru pasca-bom Bali 2002, di mana ternyata pelakunya kebanyakan dari alumni Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki di mana saya sering dengar ceramah.
Saya sendiri ketika itu sudah dalam masa transisi atau dengan kata lain sudah tervaksin, tak lagi menganut paham radikal seperti sebelumnya.
Bagaimana proses penyadaran yang Bapak lakukan?
Jadi begini, kalau ini dari perspektif agama Islam ya, tidak ada seorang pun akan sadar, akan beriman, akan taubat, illa biidznillah kecuali hidayah, kecuali izin dari Tuhan. Tetapi Tuhan memurkai orang-orang yang tidak menggunakan akal. Kalau dari ilmu, sering dikatakan manusia itu sejatinya adalah binatang yang berakal, ya kan? Dari ilmu-ilmu kita belajar biologi dan sebagainya itu kan?
Nah, ketika akal kita diracuni oleh virus-virus ideologi itu, maka tidak bekerja dengan baik. Di sinilah muncul namanya kesombongan. Merasa paling benar, merasa paling Islami, merasa paling agamis, merasa paling ahli surga, merasa paling yes, pokoknya dirinya merasa paling beriman orang lain kafir. Nah, jadi ini kuncinya hidayah.
Setelah itu yang kedua tentunya doa ya. Dari orangtua, doa dari teman, sahabat, ya keluarga. Dan yang ketiga, kita mencoba karena sudah mulai proses kesadaran kita inklusif, tidak eksklusif lagi. Inklusif, bergaul, bermasyarakat seperti biasa. Nah, kelompok-kelompok yang terpapar paham radikal itu kan kecenderungan mereka eksklusif, kacamata kuda. Karena tadi, merasa paling benar, merasa paling mulia, merasa paling agamis, paling suci semuanya pendosa.
Nah, maka sering saya katakan virus ini namanya virus takfiri. Virus takfiri atau paham takfiri ini adalah paham dengan mengkafirkan orang lain yang berbeda. Tidak hanya beda agama, bahkan seagama tapi beda kelompok pun dia kafirkan kalau belum baiat, atau belum menjadi golongannya.
Paham takfiri itu bukannya sangat umum kita temukan?
Paham takfiri ini sejatinya adalah paham kekafiran yang tidak disadari. Maka yang dikatakan oleh Nabi Muhammad, Rasulullah yakni untuk orang Islam ini ya. Hati-hati di dalam mengkafirkan orang lain, karena bisa jadi kalau orang itu tidak kafir, maka kekafiran itu akan balik kepada dirinya. Nah ini yang dialami, yang memapar oleh mereka-mereka kaum atau kelompok-kelompok yang terpapar virus radikalisme terorisme.
Jadi intinya tiga tadi. Pertama hidayah, sudah dapat hidayah, ya kan? Tentunya ini karena doa dan lain sebaginya. Nah kemudian yang kedua karena pergaulan lingkungan, berubah sikap dari eksklusif menjadi inklusif, sehingga yang tadinya intoleran menjadi toleran. Oke, kemudian yang ketiga adalah kita ketemu dengan seorang mursid, seorang guru atau tokoh agama yang benar, yang baik.
Nah, tokoh agama atau guru atau ustaz yang baik dan benar itu yang bagaimana? Yang tidak hanya mengajarkan beragama secara ritual, tapi juga beragama secara rohani, mengajarkan akhlak, perilaku, budi pekerti. Kalau dalam konteks pemahaman agama Islam disebut ikhsan. Bahwa sesungguhnya Tuhan, rahmat dan kasih sayang Tuhan itu ada pada orang-orang yang ikhsan.
Artinya orang ikhsan itu orang yang berbuat baik, berperilaku berbudi pekerti mulia, berperilaku baik. Selalu, apa namanya kalau dalam bahasa agamanya tuh khoirunnas anfauhum linnas. Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak berguna, bermanfaat untuk manusia yang lain.
Tag:
berita terbaru hari ini,berita hari ini,liputan6.com,liputan6.com news,berita liputan6.com,#liputan6.com,liputan6com,ngapain? | liputan6.com,ini yang terjadi... | liputan6.com,ashanty angkat bicara | liputan6.com,dihujat gak bisa masak | liputan6.com,3 periode? ini kata jokowi! | liputan6.com,liputan 6,liputan6,liputan,liputan 6 sctv,liputan 6 news,liputan6 news,liputan 6 live,catat! ini syaratnya jika warga ingin mudik lebaran | liputan6.com, Minggu 28 April 2024